Prawiro Sudirjo

Saya seorang pria dewasa kelahiran Cirebon, saat tahun dimana mahasiswa ITB berdemo menuntut kebebasan berbicara yang dikekang kala itu. setelah bermain di tam...

Selengkapnya
Navigasi Web
Berkunjung Ke Bekasi
Bekasi, Sedih, kecewa

Berkunjung Ke Bekasi

Berkunjung Ke Bekasi

Karya : Prawiro Sudirjo

Sebenarnya malas banget aku untuk pergi ke Bekasi. Namun demi menghadiri undangan pernikahan teman. Mau tidak mau harus datang. Apalagi undangan itu dari sahabat karib yang dulu kuliah bareng di Bandung.

Dia bernama Hendra Wijaya Kusuma, asal Sukabumi. Kuliah jurusan Bahasa Inggris di Universitas Islam Negeri di Bandung, awalnya beliau salah ambil jurusan. Karena alumni pesantren orangtuanya berpikir lebih baik ke depan menjadi pendakwah yang terkenal dan mumpuni. Ternyata di tengah semester hati kecilnya berontak. Kesukaannya kepada Sastra Inggris sejak bangku SMP membuatnya mengajukan hijrah ke jurusan itu.

Lamunanku buyar ketika Sado yang kunaiki dari Kampung Pangkalan berhenti mendadak, upss hampir saja. Moda transportasi roda dua yang ditarik seekor kuda ini ditabrak mobil mewah Lamborghini. “Ada-ada saja” gumamku.

Setelah turun dari Sado, Aku menunggu Bus kota yang akan mengantarku ke Bekasi. Yah beginilah resiko menggunakan trasnportasi umum atau istilahnya :’ngecer”.

“Koran-korannya koran”. “Cang Cimen”. Teriak pedagang asongan mengganggu tidurku dalam Bis yang akan membawaku ke Bekasi. “Duh padahal sedang mimpi indah” gumamku. Sambil berusaha bangkit aku menepuk sebelahku. “Sudah sampai mana Kang?” “Cikampek” jawabnya pendek.

“Ada apa ini kok macet?” tanyaku bawel. Oh itu ada arak-arakan yang “Sunat”, biasa naik “Odong-Odong’ jawabnya sekenanya. Wah; “Kalau di kampung saya namanya “Buroq”.Timpalku. “Cuma agak beda ya di sini ga ada Mahluk yang bersayap berkepala putri cantik” lanjutku. “Emang kampungnya di mana Kang?” Cirebon” jawabku.

“Lho kalau Subang lain lagi Kang” ujarnya. “Menggunakan patung singa (makanya disebut sisingaan) lalu dipanggul oleh empat orang penari laki-laki. Kemudian berjoget mengikuti gerakan musik Rampak Kendang Pasundan. Nah si anak naik di atasnya”.Tegasnya.

“Wah Akang tahu banyak ya soal kesenian Jawa Barat”. Kataku menunjukkan kekaguman. “Hehe kebetulan saja kang, waktu kecil sering ikut orangtua jadi peniup suling”. Balasnya sambil tersenyum.

“Hebat euy, atuh kenapa tidak diteruskan?” kejarku bertanya lagi. “Yah jaman sekarang mah. Kurang menghasilkan Kang. Sudah jarang orang mau peduli dengan budaya sendiri, lebih senang dengan K-POP dan dugem.” Jelasnya sambil menghela napas panjang. “Oh gitu Kang” ujarku dengan lirih. Aku terdiam takut menyinggung perasaannya yang jadi terharu karena tidak bisa meneruskan usaha orangtuanya melestarikan budaya leluhur. “Kang namanya siapa?” dia bertanya. “Dulatip” jawabku sambil balas bertanya “kalau Akang siapa?”

“Ocim” jawabnya singkat.

Di terminal Cikarang aku turun, tengak-tengok bingung mau naik apa. Eh ada tukang becak. Saya kira di Jabodetabek dilarang. “Mang ke Pasir Gombong berapa?” tanyaku. “Duapuluh ribu Mas” jawabnya. “Lima belas ribu ya” tawarku. “Bagen dah” katanya. Loh kok bagen? gumamku dalam hati. Kata itu seperti bahasa Jawa di kampungku. Karena penasaran kutanya “Mang kok tadi jawab “Bagen” . Mamang orang Cirebon ya? “

“Et dah bukan Mas, Saya asli Bekasi ini, ilok orang Jawa begini ya hehehehe.” Jawabnya sambil terkekeh-kekeh. “Oh, Maaf Mang saya salah sangka” sahutku meminta maaf. “Gapapa Mas, mungkin Mas-nya baru ke Bekasi ya?” selidiknya. “Oh iya Mang, mau ke undangan teman di sini. Dia dapat orang Bekasi” Jawabku.

Becak berhenti pas di depan Janur Kuning yang melengkung di mulut gang menuju rumah sang pemangku hajat. Kulihat orang ramai berjalan memasuki gapura tenda. Di sana-sini anak kecil berlarian dan bergembira. “Dhuarrr..duarr’..duarr” hampir terlompat kaget Aku. Setengah berlari aku mencari sumber suara ledakan. Loh ada apa ini? Pikirku terheran-heran.

Aku bertanya ke tukang mainan di sekitar situ. Dia menjelaskan bahwa itu adalah suara petasan. Dan sudah tradisi di Bekasi jika menerima rombongan Besan datang. Kulihat rombongan ramai orang tadi membawa banyak sekali barang dan perabotan. Dari mulai “nampan seserahan” sampai ke lemari, meja makan, kasur bahkan tempat tidur. Wah wah begini rupanya adat istiadat di sini.

Aku berlari berusaha menerobos rombongan, ingin sekali melihat tampang temanku yang “culun” itu. Seperti apa dia sekarang. Menjadi raja sehari, berhias baju pengantin.

Aku terhambat, ternyata tidak boleh menerobos sembarangan. Akhirnya aku ikut di belakang rombongan. Rasa penasaranku kedua seperti apa mempelai wanitanya? Hmmm tak pernah cerita dia.

Loh ada apa ini? Kok rombongan terhenti? Ternyata ketua rombongan berbalas pantun memberi kata sambutan kepada tuan rumah. Disambut dengan pantun pula oleh sang pemangku hajat yang diwakili Pak RT setempat. Wow aku terkesima seperti disuguhi adegan silat. Dua orang berpakaian tradisional Betawi menggunakan celana kampret dan berpeci serta mengalungkan sarung di di leher masing-masing. Saling menggertak. Dan beraksi seperti hendak bertarung. Eh kecele ternyata mereka bersalaman.

Setelah diterima ijab kabul pun dimulai. Ku tengak-tengok masih beum terlihat mempelai wanitanya. Hanya kulihat sobatku Hendra berjas dan berpeci hitam melempar senyum sumringahnya. Ingin dia menghampiri aku. Tapi sulit dalam rangkaian acara yang demikian padat.

Detik-detik Ijab Kabul pun terlewati dengan sakral. Tibalah Sang mempelai wanita keluar dari kamarnya dan menuju ke pelaminan. Aku terhenyak.

Dibalik riasannya yang tebal itu. Aku dapat mengenalnya dengan baik. Senyumnya, lesung pipitnya. Ahhhh Hendra sungguh tega kau mengambilnya dariku. Sambil bergetar hebat ku tahan amarahku.

Dia berpura-pura tidak melihatku. Oh Dewi sungguh tega kau menghianati cinta kita. Kau bilang ingin kuliah di Jakarta. Ternyata oh ternyata......

Nasib sudah menjadi bubur. Apa daya tangan tak sampai. Serasa lunglai aku berjalan memunggungi panggung cinta mereka.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

hahaha ini murni kisah fiksi tantangan Cerpen Budaya

23 Jan
Balas

Jadi meleleh nih, hehehe. Sukses selalu dan barakallahu fiik

23 Jan
Balas

Terimakasih Bu

23 Jan

Terimakasih Bu

23 Jan

Andai itu aku. Aku balik lagi naik Sado..ha..ha..Kerreen dah.

23 Jan
Balas

Turut prihatin...heheSukses slalu, keren tulisannya.

23 Jan
Balas

Hahaha ,semoga bukan kisah nyata Pak ,sehat n sukses sllu

23 Jan
Balas

Ini kisah cinta bpk ketua kah? Kl sdh jd bubur ditambah ayam biar lezaat he he, ini cerita menarik i like it yaaa tp haru juga sih mantap

23 Jan
Balas

Terimakasih Bu

23 Jan

Wah,miris sekali. Jadi ingat lagu Desi si Tenda biru.

23 Jan
Balas



search

New Post